Terkadang kita (para akhwat) tak menyadari ketika sedang membicarakan
seorang saudari, tercetuslah nada sinis, “Jilbabnya pendek”, “Dia suka
baca-baca tentang filsafat”, “Kalau ngomong sama dia itu harus dengan
keras juga karena kalau lembut nanti nggak didengerin”. Ukhti, merinding
aku mendengar kata-kata itu dari lisanmu. Seolah jilbabnya
menghalangimu pandanganmu dari hatinya. Apakah kau bercermin ketika
membicarakan aibnya? Apakah engkau tak pikir persepsi akhwat lain yang
mendengar ceritamu tentangnya? Engkau tahu ukuran jilbabnya tapi
pernahkah kau melihat sorot matanya ketika menggambarkan da’wah?
Bagaimana getaran suaranya yang begitu penuh haru. Engkau menghafal
Qur’an ukhti, namun begitu fasih menggibah akhwat yang berbeda harokah
denganmu, tilawahmu berjuz-juz tapi senang memperolok-olok kelemahan
saudarimu. Ia memang membaca filsafat, tak sepertimu, yang senang dengan
film dan artis Korea. Engkau menilai seorang akhwat sinis karena ia
lebih suka mengatakan kebenaran daripada harus bermanis menjerumuskan,
sedangkan engkau, lebih suka membicarakan saudarimu di belakang dengan
alasan tidak bisa menyampaikannya atau bahkan kau ungkap di forum
sehingga ia tak berkutik lagi menghadapimu yang memojokkannya. Engkau
tak suka akhwat yang bersikap “dingin” karena menjaga diri, namun
engkau? Tertawa lepas di depan ikhwan. lantas, ketika ia jatuh
tersungkur, dengan mudah kau berkata,